“Vel.....” panggil Ibu. Hampir membuatku terjatuh dari kursi karena kaget. Tergopoh-gopoh aku menuju sumber suara. Ternyata Ibu telah berdiri di dekat meja TV dengan muka marah sambil menaruh tangan kanan di dipinggangnya. Mirip seperti teko.
“Uang siapa ini?” tanya Ibu, sambil menunjuk 3 keping uang Rp 50,00
Aku menjawab dengan muka masam, “Uangku, bu.”
“Kenapa ditaruh sembarangan? Bukankah kamu sudah punya dompet untuk menyimpan uang?” tanya Ibu lagi.
“Itu kan Cuma uang kecil, bu. Tidak perlu disimpan. Lagipula uang Rp 50,00 itu kan jarang digunakan. Bisa-bisa nanti justru memenuhi isi dompetku.” jawabku santai.
“Sudah ibu bilang ratusan kali. Jangan suka meremehkan uang. Bisa-bisa nanti malah kamu yang diremehkan sama uangnya.” kata Ibu.
“Ibu ini ada-ada saja. Mana mungkin uangnya meremehkan kita. Uang itu kan benda mati, bu.” sangkal aku.
“Eh, anak muda zaman sekarang ya, dibilangin orang tua malah ngebantah. Pokoknya walaupun nilai nominal uang itu kecil dan jarang digunakan, tetap tidak boleh ditaruh sembarangan. Uang kecil bila dikumpulkan kan bisa jadi besar manfaatnya. Seperti pepatah yang berbunyi sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.” jelas Ibu.
Walaupun percekcokan tadi telah usai, aku tetap tidak mengerti mengapa Ibuku selalu ribut dan cerewet hanya gara-gara uang Rp 50,00. Sebenarnya nasihat dari Ibuku tadi sudah ratusan kali kudengarkan tetapi sama sekali tidak pernah aku perhatikan dan laksanakan. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri, begitulah aku.
Suatu sore, aku pergi ke toko buku & perlengkapan alat sekolah yang letaknya tidak jauh dari kompleks rumahku untuk membeli peralatan menulis. Sebelum berangkat ke toko, aku meminta uang kepada Ibuku.
“Ibu, aku minta uang buat membeli alat tulis ya...” pintaku pada Ibu.
“Wah.., anak sekolah zaman sekarang memangnya diajarin apa aja sih sama gurunya disekolah? “ tanya Ibu.
“Memangnya kenapa, bu?” tanyaku.
“Ya habisnya, kemarin kamu minta uang buat beli alat tulis. Eh, sekarang minta lagi. Memangnya murid zaman sekarang doyan makan alat tulis ya?” ledek Ibu.
“Ah, ibu ini. Sudah deh, jangan ngeledekin. Ini alat tulisnya beda, bu.” jelasku.
“Iya iya. Memang mau minta berapa Vel?” tanya Ibu.
“Rp 15.000,00 saja sudah cukup, bu.” jawabku.
“Ya sudah, ini uangnya. Nanti kalau ada kembaliannya, segera berikan ke Ibu ya, nieq. Jangan malah kamu korupsi seperti Nazarudin atau Melinda Dee. Masa kecil-kecil sudah berani korupsi, gimana pas gedenya dong?” ledek Ibu.
“Iya iya, bu. Siapa lagi yang mau ngorupsi? Kalau sejak kecil sudah dibiasakan korupsi, gimana nasib negaranya pas waktu gede? Apa kata dunia coba? Ibu ini, hobi banget deh ngeledekin anaknya sendiri.” ucapku.
Sesampainya di toko buku, aku segera mengambil alat-alat tulis yang aku butuhkan. Setelah mengambil semua barang yang kubutuhkan, aku segera ke tempat kasir untuk membayarnya.
“Berapa total harganya mbak?” tanyaku pada mbak kasir.
“Total harga semuanya Rp 15.950,00 dik.” jawab mbak kasir.
Padahal aku tadi kan cuma diberi uang Rp 15.000,00 sama Ibu.
“Wah, gimana ini?” keluhku dalam hati.
Akupun segera mengaduk-aduk isi dompetku, untuk memeriksa barangkali ada uang receh. Syukurlah, akhirnya aku menemukan sekeping Rp 500,00. Namun aku tetap belum lega, karena uangnya masih kurang Rp 450,00. Segera aku merogoh-rogoh isi kantung celanaku. Akhirnya aku menemukan 2 keping uang Rp 200,00.
“Tapi kan masih kurang Rp 50,00. Gimana dong ini? Masa aku harus mengurangi salah satu barang ini? Ini semuanya kan penting buat besok. Apa aku langsung kabur aja? Jangan, itu kan mencuri namanya. Mau ditaruh dimana mukaku nanti? Kenapa sih pada saat-saat sekarang ini tokonya tidak mengadakan diskon? Kan lumayan tuh. Duh, skak mat deh kayaknya aku” pikirku.
“Tidak jadi dulu deh mbak, kayaknya barangnya ada yang kelebihan.” kataku.
“Oh, ya sudah dik.”
Sambil menahan malu, aku segera pergi menuju rak-rak buku untuk menyembunyikan mukaku.
“Bahaya kan kalau aku sampai ketemu para paparazzi, terus mukaku ini terpajang di majalah people. Bisa-bisa artis Hollywood iri sama aku.” pikirku untuk menenangkan diri.
Akhirnya aku mencoba untuk memilih barang-barang yang penting saja. Namun semuanya kan penting, karena besok ada pelajaran kesenian untuk menggambar proyeksi rumah.
”Aku butuh semua alat tulis ini.” pikirku.
Dengan terpaksa, aku merelakan kepergian sang drawing pen 0,2 ml warna hitam dengan merk snowman yang telah kupilih tadi kembali pada raknya.
“Bye..” pikirku.
“Tidak apa-apa Vel, mungkin besok kamu bisa pinjam punya temanmu.” kataku dalam hati.
Setelah itu aku kembali ke tembat kasir dan membayar semua barang yang telah kupilih tadi. Sepanjang perjalanan pulang, aku baru menyadari bahwa semua nasihat Ibu ada benarnya juga. Uang Rp 50,00 memang uang kecil, tetapi jika tidak ada akan repot jadinya. Seperti yang telah kualami tadi. Akupun berjanji tidak akan meremehkan uang Rp 50,00 lagi. Aku akan menyimpan dengan baik tiap uang yang kumiliki tanpa peduli besar atau kecil.
Aku menceritakan peristiwa di toko tadi pada Ibu. Aku juga mengatakan akan melaksanakan nasihat dari Ibu. Ibu pun tersenyum bahagia mendengar hal itu.
“Nah, gitu dong Vel. Itu baru namanya anak yang patuh sama orang tua.” kata Ibu.
Wahh.., ternyata uang kecil juga punya manfaat yang besar kan teman. ^_^ (nieq)
0 komentar:
Posting Komentar